Rokok Haram Tidak

Rokok Haram Tidak

Mengundang murka Allah SWT

Di laman Dompet Dhuafa juga dijelaskan memakan harta haram dapat memicu murka Allah SWT, seperti yang dicantumkan dalam Washiyat Al-Musthafa karya Syekh Abdul Wahab. Di buku tersebut, bahaya uang haram menurut Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

“Wahai Ali, jika Allah marah kepada seseorang maka Allah akan memberinya rezeki yang haram. Dan ketika Allah semakin marah kepada seseorang hamba maka Allah akan mewakilkan (memberi kuasa) kepada setan untuk menambah rezekinya dan menemaninya, menyibukannya dengan dunia serta melupakan agama. Memudahkan urusan dunianya dan setan berkata (menggoda dengan kalimat): Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Tidak mendapat keberkahan

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Rasulullah SAW juga menyebutkan bahwa orang yang mendapatkan harta haram imannya akan lemah dan tidak mendapatkan keberkahan, sesuai dengan yang tercantum dalam kitab Washiyat Al-Musthafa yang berbunyi,

“Wahai Ali, orang mukmin akan selalu bertambah (kuat) agamanya selama ia tidak memakan yang haram. Dan barangsiapa meninggalkan (menjauhi) ulama, maka hatinya akan mati, dan buta dalam melaksanakan taat kepada Allah.”

Sering memakan uang haram juga mengakibatkan hilangnya rasa syukur terhadap nikmat yang sudah diberikan. Orang tersebut akan selalu merasa kurang dan tidak pernah puas terhadap apa yang dimilikinya.

Rasulullah SAW pun juga mewanti-wanti Ali bin Abi Thalib akan bahaya tersebut dalam kitab Washiyat Al-Mustahafa, yakni

"Wahai Ali, barang siapa yang makan makanan syubhat, maka agamanya akan syubhat dan hatinya akan menjadi gelap (maksudnya orang yang makan syubhat hatinya tidak akan bisa menerima nasihat agama sehingga gelap hatinya). Dan barang siapa yang makan makanan haram maka akan mati hatinya, ringan agamanya (menyepelekan agama), lemah keyakinannya, doanya akan terhalang dan sedikit ibadahnya.”

Ibadahnya sulit diterima

Berdasarkan surah Al-Baqarah, orang yang memakan uang dan harta haram ibadahnya digambarkan sebagai orang yang melemparkan Al-Qur'an di belakang punggungnya. Hal tersebut dapat dilihat dari terjemahan surah Al-Baqarah ayat 101 sebagai berikut,

Wa lammā jā`ahum rasụlum min 'indillāhi musaddiqul limā ma'ahum nabaża farīqum minallażīna ụtul-kitāba kitāballāhi warā`a zuhurihim ka`annahum lā ya'lamun

Artinya: "Halalkan apa yang dihalalkan dalam Alquran dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan dalam Alquran maka orang tersebut termasuk orang-orang yang melemparkan kitab Allah (Al-Qur'an) ke belakang punggungnya," (QS. Al-Baqarah: 101)

Dilansir Dompet Dhuafa, ayat tersebut juga menjelaskan bahwa orang yang menerima uang haram ibadahnya akan sulit diterima.

Doa-Doanya Tidak Dikabulkan

Rasulullah SAW bersabda, "Seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan 'Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!' padahal, makanannya haram dan mulutnya disuapi dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterimanya doa itu?" (HR Muslim)

Dampak ketiga memakan barang haram adalah dapat membuat iman seseorang menipis atau bahkan hilang. Apabila iman tersebut sudah terkikis, maka ia tidak akan digolongkan lagi bersama orang-orang mukmin.

Rasulullah SAW bersabda,

"Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari dan Muslim)

Kehalalan makanan yang masuk ke perut sangat berpengaruh pada banyak hal. Salah satunya adalah masalah status dan nilai keimanan kepada Allah SWT. Makanan halal juga akan berpengaruh terhadap keberkahan hidup. Kalau tidak sengaja konsumsi makanan haram bagaimana?

Makanan haram adalah makanan yang dilarang oleh syariat Islam untuk dikonsumsi oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Mengutip dari buku Sembuh Total dengan Wirid Husna karya Rizem Aizid, apabila seorang hamba tetap memaksakan diri memakan barang haram tersebut, maka ia tidak akan mendapat rida Allah SWT. Sebaliknya, ia akan mendapat azab dan dosa dari-Nya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dampak dari memaksakan diri memakan makanan yang haram pun ada berbagai macam. Apa saja?

Dijelaskan dalam buku 20 Hari Hafal 1 Juz karya Ummu Habibah, dampak memakan makanan haram untuk tubuh ada lima hal, di antaranya:

Mendapatkan Balasan Neraka

Seorang muslim yang dengan sengaja memakan makanan haram tidak akan mendapat balasan kecuali neraka.

Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, beliau berkata, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR Tirmidzi)

Orang yang gemar atau sengaja makan makanan haram padahal sudah jelas makanan tersebut haram, maka konsekuensinya ia akan memiliki hati yang keras melebihi batu.

Apabila hati manusia sudah menjadi keras, maka ia akan sulit untuk menerima kebenaran dan akan terus berada dalam kesesatan.

Hasil Pencarian Rokok Mirip Rokok

Rokok mirip rokok terbanyak dilihat

Daftar harga rokok mirip rokok terbaru Desember 2024

kertas rokok mirip surya

Pipa Rokok Tulang Sapi Mirip Gading

Pipa-Rokok-tulang- sapi mirip gading-gajah asli

Natural Batu Akik Susup Tunggal Motif Mirip Gambar Rokok Filter Kuning

Oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi

Pegertian Harta Haram Yang dimaksud dengan harta haram adalah  setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang syariat[1].

Faktor Penyebab Akad Menjadi Tidak Sah Dan Hassilnya Merupakan Harta Haram Ada 3 faktor yang menyebabkan sebuah akad tidak sah sehingga hasilnya menjadi harta haram, yaitu: riba, gharar dan zhulm.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sebuah akad yang tidak mengandung unsur gharar, riba dan zhulm tidak mungkin diharamkan syariat[2].”

Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Faktor penyebab muamalat diharamkan adalah riba, zhulm dan gharar“[3].

Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas pengertian faktor-faktor penyebab muamalat menjadi diharamkan.

1. Riba Secara bahasa riba artinya bertambah, sedangkan menurut istilah riba adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang, atau menambahkan takaran saat melakukan tukar-menukar 6 komoditi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai.

Riba terbagi menjadi :

2. Gharar Secara bahasa gharar berarti  resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. Secara istilah gharar adalah jual beli yang tidak jelas kesudahannya. Sebagian Ulama mendefinisikannya dengan jual-beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak.

Jenis gharar yang diharamkan: a. Nisbah (prosentase) gharar dalam akad itu besar Jika nisbah (prosentase) gharar yang ada dalam sebuah akad sangat besar maka akad ini diharamkan. al-Bâji berkata, “Gharar dalam jumlah besar, yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bahwa jual-beli ini adalah jual-beli gharar.”

b. Keberadaan gharar dalam akad itu mendasar. Jika keberadaan gharar dalam akad merupakan pokok dari akad tersebut, maka akad ini menjadi haram. Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Gharar yang terdapat pada akad yang statusnya sebagai pengikut dibolehkan … seperti: menjual kambing yang sedang menyusui (menjual susu dalam kantung susu hewan mengandung unsure gharar, akan tetapi  dibolehkan karena statusnya hanyalah sebagai pengikut dalam transaksi), hewan ternak bunting (menjual janin di dalam perut induknya mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanya sebagai pengikut dalam transaksi) … dan tidak boleh bila dijual terpisah (seperti menjual janin hewan ternak saja yang masih berada dalam perut induknya)“.

c. Akad yang mengandung gharar itu bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak. Dibolehkan melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut dibutuhkan orang banyak, sedangkan jika sebaliknya maka akad menjadi haram. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia maka akadnya dibolehkan“.

d. Gharar yang terjadi pada akad jual-beli. Boleh melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut terjadi pada hibah/wasiat, sedangkan untuk akad-jual beli hukumnya dilarang.

3. Zhalim Zhulm berasal dari bahasa Arab yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan berbuat zhalim.

Menurut istilah zalim berarti mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allâh Azza wa Jalla . Dengan pengertian ini, maka setiap perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan zhalim yang diharamkan, baik dengan cara menambah atau mengurangi.

Penggunaan Harta Haram Jika seseorang mengetahui dan menyadari bahwa tenyata pada sebagain hartanya ada harta haram maka yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Untuk menyempurnakan taubatnya hendaklah ia mengeluarkan seluruh harta haram tersebut karena hakikatnya harta haram bukan miliknya.

Al-Ghazali rahimahullah berkata dan dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa itu merupakan pendapat Ulama Syâfi’iyyah, “Barangsiapa hanya memegang harta haram, maka ia tidak ada kewajiban berhaji, tidak ada kewajiban membayar kafarat karena ia diangggap tidak memiliki harta, tidak wajib zakat, karena zakat dikeluarkan dari 1/40 harta, sedangkan pemegang harta haram wajib mengeluarkan seluruh harta haram dengan cara dikembalikan kepada pemiliknya jika diketahui keberadaannya atau dibagikan kepada fakir miskin jika pemiliknya tidak diketahui.”[4]

Tata Cara Bertaubat Dari Harta Haram Berikut ini rincian cara bertaubat dari harta haram: 1. Cara Bertaubat Dari Harta Haram Yang Merupakan Hasil Dari Muamalat Yang Dilakukan Tanpa Saling Ridha Dan Keberadaan Pemiliknya Yang Sah Masih Diketahui Cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya. Berdasarkan uraian ini, maka uang hasil korupsi wajib dikembalikan kepada pihak yang dirugikan, uang hasil jual-beli dengan cara penipuan wajib dikembalikan selisih antara harga normal dengan harga yang dijual kepada pembelinya, begitu juga dengan jual-beli barang dengan cara terpaksa[5].

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

Tangan yang mengambil barang orang dengan cara yang tidak diridhainya wajib menanggung barang tersebut hingga dikembalikan kepada pemiliknya. [HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth derajat hadis ini Hasan lighairihi]

Barang atau uang yang didapat dengan muamalat tanpa saling ridha wajib dikembalikan jika diketahui pemiliknya dan masih ada barangnya serta belum terjadi perubahan pada bentuk fisiknya.

Jika barang atau uang tersebut lenyap sama sekali, maka untuk kesempurnaan taubatnya dia harus menggantinya atau meminta pemilik hak merelakannya.

.Jika terjadi perubahan pada barang, maka perubahan itu terjadi dalam beberapa bentuk : a. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi berkurang. Pada kondisi ini orang yang berbuat dosa tadi hendaknya menyerahkan barang yang telah berubah nilainya itu serta memberikan ganti rugi sesuai dengan kekurangan atau penyusutan nilai barang tersebut. b. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi bertambah, seperti kambing menjadi lebih gemuk atau beranak. Pada kondisi ini, menurut salah satu pendapat dalam mazhab Hambali bahwa nilai tambah dari barang tersebut adalah milik kedua belah pihak yang harus dibagi rata. Pendapat ini lebih adil.

Jika terjadi perubahan pada uang, maka perubahan itu ada dua macam : a. Jumlah uangnya berkurang. Dalam kondisi ini, pelaku kezhaliman berkewajiban menambahnya atau meminta keikhlasan pihak yang dirugikan. b. Jumlah uangnya bertambah, disebabkan pemilik yang tidak sah ini mengembangkannya dalam bentuk usaha, seperti seorang koruptor menginvestasikan uang hasil korupsinya dan mendapatkan laba yang banyak. Pada saat dia bertaubat, apakah modal dan keuntungan semuanya diserahkan kepada pemilik yang yang sah ? Dalam hal ini sebagian Ulama berpendapat bahwa modal dikembalikan kepada pemilik yang sah. Adapun keuntungan dibagi dua antara pemilik yang sah dan pengembang. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Ibnu Qayyim rahimahullah.

Pendapat ini berdalil dengan kisah mudhârabah antara Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dengan modal harta negara yang dititipkan oleh Abu Musa al Asy’ari Radhiyallahu anhu.

Dari atsar ini dapat diambil hukum bahwa keuntungan dari usaha yang modalnya berasal dari harta milik orang lain merupakan milik bersama antara pemilik modal yang sah dan pengembang modal yang keberadaan modal di tangannya tidak sah.

Harta Haram Dari Hasil Muamalat Yang Tidak Saling Ridha dan Tidak Diketahui Keberadaan Rekan Transaksinya  Harta haram yang didapat dengan jalan tidak saling ridha antara dua orang yang bertransaksi dan tidak diketahui lagi keberadaan rekan transaksinya, serta tidak memungkinkan untuk mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya yang sah, maka untuk kesempurnaan taubat pemegang harta haram ini hendaklah menyedekahkan barang atau uang itu kepada para fakir-miskin, atau untuk pembangunan fasilitas umum dan untuk kemaslahatan lainnya. Dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik barang atau uang yang sah. Jika nanti di kemudian hari pemiliknya diketahui hendaklah ia memberikan pilihan kepadanya antara rela dengan uangnya yang telah disedekahkan atau ia menggantinya dan sedekah berubah menjadi miliknya (atas namanya).

Pendapat ini berdasarkan atsar dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa ia membeli seorang budak. Lalu  Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu membawa budak itu masuk ke rumah, kemudian ia menimbang uang emas sebagai harga budak tersebut.

Pada saat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu keluar untuk menyerahkan uang kepada penjual budak, ia sudah tidak menemukan lagi penjual budak itu. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berusaha mencari serta menunggu penjual budak selama setahun. Setelah satu tahun berlalu, ia tidak juga menemukannya. Lalu ia sedekahkan uang harga budak itu seraya berkata, “Ya Allâh , sedekah ini atas nama pemilik budak, jika nanti dia datang maka akan aku beri dia pilihan antara sedekah tetap menjdi miliknya atau menjadi milikku dan aku ganti uangnya“. [HR. Bukhari].

2. Cara Bertaubat dari Harta Haram Hasil Muamalat yang Dilakukan atas Dasar Saling Ridha Orang yang mendapatkan barang atau uang hasil muamalat atas dasar saling ridha, tetapi bentuk muamalatnya diharamkan Allâh Azza wa Jalla , seperti  pemberi dan pemakan harta riba saling ridha dalam akad riba yang mereka lakukan; Atau dua orang yang mengadu nasib dalam perjudian (akad gharar) saling ridha apapun yang terjadi; Atau dua orang yang saling ridha melakukan transaksi sogok-menyogok; Atau dua orang yang saling ridha melakukan jual-beli benda-benda najis atau yang diharamkan. Para pelaku muamalat haram ini terkadang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram, dan terkadang ia tahu, tetapi sengaja ia langgar.

a. Untuk orang yang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya adalah haram, maka cara bertaubatnya saat ia mengetahui muamalat ini diharamkan adalah ia wajib berhenti dan tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan rekan transaksi kepadanya bahwa pada.

Adapun barang atau uang yang telah diterima dan telah digunakannya selama ini adalah miliknya dan ia tidak berdosa karena ia tidak mengetahui hukumnya dan semoga Allâh mengampuni kelalaiannya.

Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَواج فَمَنْ جَاءَهُ, مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلىَ اللهِ

Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh Azza wa Jalla . [al-Baqarah/2:275]

Ayat ini menjelaskan bahwa harta hasil riba yang telah diterima dan telah digunakan sebelum riba diharamkan tetap menjadi milik yang menerima. Dan hukum orang yang tidak tahu bahwa hukum riba adalah haram sama dengan orang yang belum diturunkan kepadanya ayat yang melarang riba.

Maka secara implisit ayat ini berarti bahwa harta riba yang belum diterimanya tidak halal lagi semenjak larangan turun atau semenjak ia mengetahui hukumnya adalah haram.[6]

b. Orang yang Tahu Bahwa Muamalat yang Ia Lakukan Hukumnya Haram Untuk orang yang mengetahui bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram namun sengaja ia langgar, maka cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan lawan transaksi kepadanya.

Adapun barang atau uang yang telah diterima atau yang telah habis digunakan maka ia wajib memperkirakan nilainya dan menggantinya, lalu disedekahkan untuk fakir miskin atau kepentingan fasilitas umum, atau untuk baitul maal (kas negara) dalam rangka membersihkan dirinya dari dosa harta haram dan bukan disedekahkan atas nama orang yang memberikannya. Karena status harta tersebut bukan lagi milik si pemberinya. Status baru ini berlaku sejak ia memberikannya dengan suka-rela atas imbalan yang dia dapatkan, meskipun imbalan tersebut hukumnya haram.

Ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu bahwa ia juga pernah menyita harta para gubernurnya yang dianggap haram lalu ia masukkan ke baitul maal.[7]

Ini menunjukkan bahwa harta haram dimasukkan ke baitul mal yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.

Dan juga boleh diberikan kepada fakir miskin berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu tentang sedekahnya dari harta haram.

Namun, jika kondisi penerima harta haram yang didapat dari transaksi haram yang berdasarkan asas saling ridha  adalah seorang fakir miskin  maka ia boleh mengambilnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, hingga ia mendapatkan harta yang halal.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka  harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik. Dan jika pemegang harta haram adalah seorang yang miskin maka ia boleh mensedekahkan harta tersebut untuk dirinya dan juga keluarganya, karena pada diri mereka juga terdapat status kemiskinan, bahkan mereka lebih pantas untuk mendapat harta tersebut“[8].

Ibnu Maudûd berkata, “Harta haram haruslah disedekahkan, jika ia gunakan untuk keperluan pribadinya dan dia adalah orang kaya ia mesti bersedekah dengan sejumlah harta tersebut, dan jika dia adalah orang miskin maka ia tidak perlu bersedekah.”[9]

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa mendapatkan harta melalui usaha yang haram dan diserahkan dengan hati rela oleh orang yang memberinya, seperti uang hasil menjual arak, uang hasil perzinahan dan upah meramal nasib maka pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah jika dia tidak mengetahui hukum transaksi tersebut haram saat melakukannya, kemudian ia tahu hukumnya haram dan bertaubat maka harta itu halal dimakannya.

Tetapi, jika ia tahu bahwa hukumnya haram sejak awal transaksi kemudian dia bertaubat maka hendaklah ia mensedekahkan harta tersebut, dan harta itu halal bagi orang miskin yang menerima sedekahnya … Dan jika dia sendiri berstatus fakir miskin maka ia boleh mengambil sekedar menutupi kebutuhan pokoknya.”[10]

Ibnu Rajab berkata, “Harta yang harus disedekahkan karena pemiliknya tidak diketahui, seperti harta perampokan dan titipan … menurut qadhi Abu Ya’la boleh dimakan jika pemegang harta tersebut adalah seorang fakir miskin.”[11]

Demikian uraian singkat tentang harta haram, penggunaannya dan cara bertaubat darinya. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Dr. Khalid Al Mushlih, at-Taubah minal Makâsib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13. [2] I’lâm al Muwaqqi’in, III/311. [3] Al-Mumti’  IX/53. [4] Ihya’ Ulumuddin, II/134. [5] Dr. Khalid al Mushlih, At taubah minal makasib al muharramah wa ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13. [6] Dr. Khalid al Mushlih, at-Taubah minal Makasib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 35. [7] Dr. Abbas al Bâz, Ahkam al Mâl haram fi fiqhil Islami, hlm. 345-346. [8] Syarh al Muhazzab, IX/351. [9] al Ikhtiyar li ta’lil al Mukhtar, III/61. [10] al Fatawa al Kubra, V/421. [11] al qawa’id, hlm. 129-130.

Jln. Tentara Pelajar, Ruko Permata Senayan Unit B10-11, RT.1/RW.7, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jakarta 12210

Tidak dikabulkan doanya

Dilansir Almanhaj, Rasulullah SAW juga pernah bersabda, orang yang berani memakan uang haram doanya tidak akan pernah dikabulkan oleh Allah SWT. Sabda tersebut tercantum dalam hadis riwayat Imam Muslim yang berbunyi,

"Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan?" (HR. Muslim)

Nah, itu dia 5 bahaya uang haram menurut Islam. Ada baiknya, jangan sampai tergoda dengan uang haram, meskipun keuntungan yang didapatkan sangat banyak, ya!

Baca Juga: Cara Mengamalkan Doa Nabi Sulaiman untuk Kekayaan, Rasakan Berkahnya!

Hukum Memakan Makanan yang Haram Tetapi Tidak Mengetahuinya

Seorang muslim sudah seharusnya menjaga makanan yang dia makan agar hanya barang yang halal saja yang masuk ke dalam perutnya. Dia harus selalu menghindari makanan yang diharamkan Allah SWT.

Namun dalam kehidupan ini tentu ada hal yang tidak bisa dikendalikan. Bagaimana hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya?

Disebutkan dalam buku Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam apabila seseorang terpaksa atau dalam keadaan tak sengaja dan tak sadar memakan barang haram, maka ia wajib memuntahkan jika bisa.

Hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya tidak akan ditimpakan dosa bagi orang tersebut atas kemurahhatian Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku 50 Masalah Agama Bagi Muslim Bali karya Bagenda Ali.

"Tentunya apabila seseorang muslim memakan daging babi karena ketidaktahuan bahwa yang dimakan adalah daging babi, hal itu termasuk sesuatu yang dimaafkan (tidak berdosa)," tulis buku tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa." (HR Ibnu Majah)

Jadi, apabila seorang muslim tersebut benar-benar tidak mengetahui tentang keharaman makanan yang ia konsumsi maka hal itu tidak tergolong dosa di sisi Allah SWT.

Hal yang harus dilakukan muslim tersebut menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis dan mencuci tangannya. Jika sudah di masa lampau maka dia tidak melakukan apa-apa.

Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi menambahkan bahwa tidak ada kewajiban apa-apa bagi orang yang tidak sengaja atau tidak mengetahui makanannya haram. Yang perlu ia lakukan adalah berhati-hati dan waspada di masa depan. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Jilid 4, No 7290 pertanyaan ke-5)

Baru-baru ini, Indonesia dikejutkan dengan kasus pencucian uang yang dilakukan oleh Rafael Alun, seorang pejabat Ditjen Pajak. Tentu saja kasus tersebut langsung membuat netizen marah dan mengecam tindakan tercela pejabat pajak tersebut.

Tidak hanya netizen, banyak pemuka agama yang menyayangkan tindakan tersebut. Pasalnya, Rasulullah SAW sendiri pernah menjelaskan bahaya uang haram dapat berdampak ke moral dan keluarga.

Lantas, apa saja bahaya uang haram dalam pandangan Islam? Yuk, mari kita simak penjelasan bahaya uang haram menurut Islam berikut ini!